Dengan Apa "?"
Hanya apa kita bisa bangun kembali kenangan manis yang dulu pernah kita jalani? Oh, bukan kenangan. Tapi suasana. Suasana dulu yang saling menghargai, percaya, perduli, dan menyayangi. Seakan kita tak pernah bisa terpisah oleh apapun.
Dengan apa aku kembali yakin bahwa kaulah satu-satunya lelaki yang paling pemberani, sejati. Aku hanya merindukan suasana dulu yang pernah kita lewati. Tanpa amarah emosi yang tiada henti.
Kini, emosi lah yang selalu menyelubungi kita. Membuat ku muak dengan semua pertahanan yang selama ini ku yakini. Aku hanya merasa semua itu percuma dan tak ada arti. Sekalipun kau memelukku erat dan merangkul jemari ku seperti dulu awal kita bersatu. Kita telah berubah, karena termakan oleh ego sendiri. Kesana-kesini tak pernah bisa sehati. Pikiran negative selalu menghampiri dengan tanda tanya yang amat sangat besar. Berat rasanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh yang kau lontarkan.
Aku hanya tidak pernah mengerti mengapa kau mengulangi kesalahan yanag sama meskipun kau sering bertuah “Aku janji tak akan mengulangi”. Aku hanya muak, muak, muak, dan amat sangat muak dengan semua omong kosong yang selalu keluar dari mulutmu. Ketika kau bilang bahwa kau mengerti tetapi praktekmu? Sama sekali tidak berarti. Semua harus selalu diawali dengan “Mengapa” bukan “Ada Apa” aku hanya merindukan dirimu yang dulu, yang selalu belajar mengerti dan memahami tanpa harus selalu bertanya itu-ini. Aku rindu dengan semua yang “dulu” dengan ketenangan, pengertian tanpa harus ada kata kasar yang dilukiskan di mulut ku ini. Aku benci tiap kali kau berlaku tidak tahu, padahal kau tahu.
Pernah dengar ungkapan? “Ketika wanita mu telah lelah untuk mempertahankan semua yang sudah dijalani, ia akan berubah menjadi sosok yang tak kau kenali”. Ya, itulah aku sekarang. Jangan banyak tanya dengan sesuatu yang sudah kau ketahui. Jangan mencari tahu hal yang tak perlu kau ketahui. Dan jangan bersikap bodoh sekalipun semua itu memang terdengar amat sangat bodoh.
Kau tahu? Dengan suasana seperti ini, aku hanya bisa berfikir bahwa aku amat sangat menyesal. Yah.. Aku menyesal karena aku terlalu banyak menunggu dan termakan oleh mimpi yang tak pernah pasti. Selama ini, ketika bukan aku yang memulai, apa pernah kau memulai? Selama ini, ketika aku tidak meluapkan emosi ku “terlebih dahulu” apa pernah kau sadar bahwa kau “pernah berjanji”. Aku marah, kasar, jahat, semata-mata hanya ingin membuat mu sadar untuk menjalani semua janji mu kemarin, minggu lalu, dan dahulu. Aku marah dengan alasan bahwa aku sangat membenci mu dengan hobi mu yang selalu “menyepelekan” semua hal. Masih tidak pantaskah aku untuk marah? Tidak pantas kah aku emosi atas segala sikap memalukan mu? Dan semua masalah yang kau buat di kehidupan ku.
Masih teringat, dulu awal kita bertemu. Awal kita berbicara dan memandang. Awal, ketika aku merasa yakin bahwa “mungkin” kau yang terbaik.
Entahlah, aku hanya tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan aku se-emosi ini untuk meminta mu pergi, padahal karena Tuhan lah kita bisa bersatu.
Dengan apa aku kembali yakin bahwa kaulah satu-satunya lelaki yang paling pemberani, sejati. Aku hanya merindukan suasana dulu yang pernah kita lewati. Tanpa amarah emosi yang tiada henti.
Kini, emosi lah yang selalu menyelubungi kita. Membuat ku muak dengan semua pertahanan yang selama ini ku yakini. Aku hanya merasa semua itu percuma dan tak ada arti. Sekalipun kau memelukku erat dan merangkul jemari ku seperti dulu awal kita bersatu. Kita telah berubah, karena termakan oleh ego sendiri. Kesana-kesini tak pernah bisa sehati. Pikiran negative selalu menghampiri dengan tanda tanya yang amat sangat besar. Berat rasanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh yang kau lontarkan.
Aku hanya tidak pernah mengerti mengapa kau mengulangi kesalahan yanag sama meskipun kau sering bertuah “Aku janji tak akan mengulangi”. Aku hanya muak, muak, muak, dan amat sangat muak dengan semua omong kosong yang selalu keluar dari mulutmu. Ketika kau bilang bahwa kau mengerti tetapi praktekmu? Sama sekali tidak berarti. Semua harus selalu diawali dengan “Mengapa” bukan “Ada Apa” aku hanya merindukan dirimu yang dulu, yang selalu belajar mengerti dan memahami tanpa harus selalu bertanya itu-ini. Aku rindu dengan semua yang “dulu” dengan ketenangan, pengertian tanpa harus ada kata kasar yang dilukiskan di mulut ku ini. Aku benci tiap kali kau berlaku tidak tahu, padahal kau tahu.
Pernah dengar ungkapan? “Ketika wanita mu telah lelah untuk mempertahankan semua yang sudah dijalani, ia akan berubah menjadi sosok yang tak kau kenali”. Ya, itulah aku sekarang. Jangan banyak tanya dengan sesuatu yang sudah kau ketahui. Jangan mencari tahu hal yang tak perlu kau ketahui. Dan jangan bersikap bodoh sekalipun semua itu memang terdengar amat sangat bodoh.
Kau tahu? Dengan suasana seperti ini, aku hanya bisa berfikir bahwa aku amat sangat menyesal. Yah.. Aku menyesal karena aku terlalu banyak menunggu dan termakan oleh mimpi yang tak pernah pasti. Selama ini, ketika bukan aku yang memulai, apa pernah kau memulai? Selama ini, ketika aku tidak meluapkan emosi ku “terlebih dahulu” apa pernah kau sadar bahwa kau “pernah berjanji”. Aku marah, kasar, jahat, semata-mata hanya ingin membuat mu sadar untuk menjalani semua janji mu kemarin, minggu lalu, dan dahulu. Aku marah dengan alasan bahwa aku sangat membenci mu dengan hobi mu yang selalu “menyepelekan” semua hal. Masih tidak pantaskah aku untuk marah? Tidak pantas kah aku emosi atas segala sikap memalukan mu? Dan semua masalah yang kau buat di kehidupan ku.
Masih teringat, dulu awal kita bertemu. Awal kita berbicara dan memandang. Awal, ketika aku merasa yakin bahwa “mungkin” kau yang terbaik.
Entahlah, aku hanya tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan aku se-emosi ini untuk meminta mu pergi, padahal karena Tuhan lah kita bisa bersatu.
Komentar
Posting Komentar