Apakah selalu "bahagia"?


“Setiap manusia memiliki perbedaan, sayang.”

Banyak yang bilang kalo kita ini berbeda. Kau dan aku. Mereka dan dia. Mungkin bisa di ibaratkan “Sama tapi tak serupa.” Yah, memang. Aku tau itu, tapi aku tak yakin sepenuhnya. Kau tau? aku dan ia memiliki kisah yang sama namun, waktu, tempat dan dengan orang yang berbeda. Apakah ini merupakan suatu kebetulan? Mungkin.

Tapi apakah sebuah kebetulan akan terulang kembali? Entahlah, aku hanya tak mengerti. Seolah-olah aku bisa merasakan hal yang sama saat mereka, datang padaku untuk berbagi cerita. Berlebihan memang, tapi kalo kau tak percaya yasudah.

16 tahun 5 bulan.

Tidak terasa aku sudah di temani kehidupan selama ini, aku bersyukur atas semua yang Tuhan berikan kepada ku. Yah meskipun aku bukan wanita yang sempurna, tapi aku selalu belajar untuk menciptakan kesempurnaan dari dalam diriku sendiri.
100% materi yang Tuhan berikan kepada ku, hanya 20% yang baru aku mengerti. Tentang perasaan, keseimbangan, kehidupan, bahkan kesedihan. Semua itu aku pelajari dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Berbicara mengenai “sudut pandang” meskipun kita sama-sama “Manusia” tapi kita memiliki penilaian yang sangat berbeda. Terkadang kesalah pahaman berawal dari penilaian sebelah mata.
Aku sangat mencintai kedua mataku, dengan mata ini aku bisa melihat indahnya dunia ini bahkan aku bisa melihat perasaan seseorang yang ada di hadapanku. Meskipun orang tersebut mengelak untuk mengakui perasaannya.  Oiya, dengan mata aku juga bisa melihat betapa pentingnya seseorang yang ada di hadapan ku, karna terkadang orang tersebut bisa meninggalkan kenangan yang mendalam.
Beralih dari itu, aku ingin menunjukkan sebuah cerita yang mungkin sudah sering kau dengar. Tapi ini berbeda, kau pahami yaaaa…

            “Roda itu seperti lingkaran, Bu. Kau pasti akan merasakan setiap sisinya karna tak akan ada ujungnya. Jika kau terus mencari kebahagiaan, kau salah Bu.”

Kekayaan yang kau punya tak sebanding dengan nilai sebuah ketulusan. Jika kau berpikir harta adalah segalanya, untuk apa kau memberikan harta kotor mu kepada pengemis itu, Bu? Kau ini sudah “Tua” harusnya kau lebih menghargai seseorang yang kini berada di sampingmu, membantu mu dengan tulus dan bahkan tak pernah mencelakaimu. Tapi mengapa kau tak pernah absen menghujatnya, Bu? Apa karna kau seorang Istri Jendral yang “Kaya” jadi kau semena-mena dengan ia yang miskin? Oh salah, kalau begitu, yang miskin itu bukan ia, tapi kau. Kau memang kaya di “mata” tapi kau sangat miskin di “hati”. Aku benci karna kau selalu membisik kan ku “Inilah yang disebut Kebahagiaan, gadis kecil.”

            Jika kebahagiaan berlatar belakang “menyakiti” perasaan seseorang, aku lebih memilih untuk menderita, karna dengan derita, kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya tanpa diminta.

            “Kau tak akan pernah merasa bahagia sebelum kau menyakiti perasaaan orang yang bersalah dimatamu, gadis kecil.” Bisiknya lagi.

            Oh sungguh aku sangat mual mendengar bisikannya itu. ibarat barang, orang ini seperti boneka “Barbie” yang sangat cantik namun, ketika malam berubah menjadi boneka “Chucky” yang mengerikan. Aku sangat muak padanya, ingin rasanya aku lempar dengan busa kotor yang berasal dari rumahnya. Tapi, ibu ku sendiri selalu mengingatkanku pada “Kesantunan”.
            “Nak, sejahat apapun orang itu kalaupun dia lebih tua darimu kau harus tetap hormat padanya.”
Aku bingung dengan pernyataan itu, lalu aku bertanya pada ibu, “Jika ia yang membunuh salah satu dari kita, Ibu masih mengajarkanku untuk hormat padanya?” Tak ada sepatah katapun yang di ucapkannya, ibu hanya diam dan menutup jalan pikirnya. Ah sial! Kalau sudah begini, aku sangat benci.

“Meskipun nyawa harus dibalas nyawa, biarkan Tuhan yang membalasnya.” Suara tegas itu muncul dengan sosok tenang Bapakku.

Kalau sudah ia yang berbicara, aku lebih memilih diam.

Yah memang meskipun nyawa dibalas nyawa, hanya Tuhan lah yang berhak menentukannya. Ruh berasal dari Tuhan dan memang harus kembali pada Tuhan dengan caraNya sendiri.
           
“Jangan biarkan cucuku masuk kerumah gembel.” Suara itu menjerit di telingaku saat Bu Jendral itu berdiri di depan rumahnya. Batinku hanya bisa berkata “Mulutmu adalah belenggu mu” jadi apa yang kau ucapkan, adalah apa yang nantinya kau rasakan.
Aku selalu percaya bahwa kehidupan itu memang seperti roda yang berputar. Kau akan merasakan sensasi sejuk saat kau berada di atas. Tapi, kau juga akan merasakan sensasi sakit ketika kau berada di titik terbawah.

                       

            “Bu, kini aku mengerti betapa pentingnya dalam menjaga perasaan seseorang. Dan aku bersyukur bahwa aku bisa melihat perasaannya dengan kedua mata ku.”





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dengan Apa "?"

In Memoriam

2024